Kamu bilang, kamu sayang aku selamanya.
Kamu bilang, kamu cinta aku selamanya.
Kamu bilang, kamu nggak peduli apa kata
orang, yang penting aku sama kamu selamanya.
Selamanya?
Selamanya menurut
pengertianku adalah, ya, selamanya.
Aku kira, menurut kamu pun begitu.
Ternyata, selamanya
menurut definisi kamu adalah hanya 4
tahun lamanya.
4 tahun bukan waktu yang sebentar untuk kita
saling mengenal satu sama lain.
4 tahun bukan waktu yang sebentar untuk
dibagi bersama orang lain.
Dan, 4 tahun bukan waktu yang sebentar untuk dilupakan begitu saja.
Sudah hampir dua tahun sejak terakhir kali
kamu bilang “aku sayang kamu”, tapi semua memori itu masih tersimpan rapi dalam
otakku.
Bagaimana tidak, hampir setiap sudut kota—rumah,
sekolah, kafe, mall, bioskop, taman, bahkan masjid pernah kita datangi berdua.
Barang-barang pemberianmu pun sampai sekarang
masih ada.
Kamu kira aku lupa? Kamu salah.
“And the hardest part was letting go, not
taking part.” – The Hardest Part, Coldplay.
Merelakan dan melupakan memang bagian
tersulit. Jadi, aku tidak berniat melupakan semuanya. Aku hanya mencoba untuk tidak mengingatnya lagi.
Biarlah memori itu tersimpan rapi.
Waktu putus pertama kali, kamu harus tahu
betapa aku mengutuk Tuhan karena sudah memisahkan kita.
Aku begitu menyalahkan Tuhan, dengan berkata
Ia tidak adil, dan Ia tidak menyayangi aku.
Kalau Tuhan menyayangi aku, harusnya Ia
membiarkan kita bersama. Selamanya.
Saat kemudian kamu kembali lagi, aku pun
berpikir, “Tuhan memang menyayangi aku.”
Tapi segala sesuatunya sudah berubah, aku
tahu kamu juga tahu.
Kemudian kita berpisah lagi—untuk terakhir
kalinya.
Waktu itu, aku lagi-lagi menyalahkan Tuhan dan menyalahkan kamu.
Aku bertanya-tanya, "Katanya selamanya?"
Lama-lama, aku sadar. Tuhan memang
benar-benar menyayangi aku dengan tidak
membiarkan kita bersama selamanya.
“Jalanmu bukan jalanku, dan kau telah
memilih.” – Jalanmu Bukan Jalanku, Andra and The Backbone.
Segala sesuatu terjadi karena ada alasan
dibelakangnya.
Dan aku percaya, perpisahan kita pun terjadi
karena ada alasannya.
Tuhan tahu, jalan kita memang berbeda sejak
dulu.
Mungkin, kita yang tetap memaksakan keadaan
waktu itu.
Aku tidak mengharapkan kita untuk kembali
lagi. Apalagi, berharap untuk bersama selamanya
denganmu, seperti dulu.
Sekarang, biarlah aku bahagia dengan caraku.
Dan kamu, bahagia dengan jalanmu.
(Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba
#suratuntukruth novel Bernard Batubara)